Begini Kisahnya Jawa dan Bali Dipisahkan Oleh Laut, Jangan Coba-Coba Dibangun Jembatan Penghubung
JEMBRANA, jarrakposbali.com ! Kembali santer terdengar terkait rencanya pembangunan jembatan di Selat Bali yang menghubungkan pulau Jawa dengan Pulau Jawa. Kabar tersebut tentunya memantik reaksi dari beberapa tokoh di Bali, termasuk tokoh adat dan Agama yang menyatakan sikap menolak rencana tersebut.
Salah satu tokoh asal Kabupaten Jembrana Drs. Ida Bagus Sesrama yang kini masih menjabat sebagai Ketua Komisi I DPRD Jembrana, juga menyatakan sikap yang sama, menolak pembangunan jembatan penghubung Jawa-Bali. Penolakan kader senior PDI Perjuangan yang juga tokoh sepiritual ini berdasarkan pandangan pilosofi relijius.
Menurutnya ada kisah yang perlu disimak hingga lahir adanya Bisama Selat Bali. Menurut IB Susrama, dulunya Pulau Jawa dan Pulau Bali adalah satu daratan. Kemudian dua pulau ini kemudian dipisahkan oleh laut yang dinamakan Selat Bali.
“Ini ada kisah atau legenda yang menyebabkan Pulau Jawa dan Pulau Bali terpisah. Legenda itu menurut umat Hindu diyakini kebenarannya. Begini kisahnya,” ujar IB Susrama, saat ditemui redaksi Jarrakpos awal pekan ini.
Dituturkannya ada seorang Wiku suci yang mebiseka (bernama) Ide Dang Hyang Sidi Mantra. Wiku ini tidak memiliki anak. Beliau (Wiku) menurut IB Susrama, sangat berkeinginan memiliki seorang anak laki-laki (putra), agar beliau bisa mewariskan ajaran-ajaran Agama dan ajaran-ajaran utama dalam kehidupan.
“Segala upaya beliau lakukan agar memiliki putra, namun belum juga berhasil. Hingga akhirnya beliau memutuskan untuk beryoga di hutan yang sekarang tempat itu disebut Pura Alad Purwo, Banyuwangi,” tuturnya.
Dikisahkan IB Susrama, pada saat beryoga tersebur, tiba-tiba muncul
batu berwarna merah. Tanpa pikir panjang, Wiku tersebut kemudian mengambil batu merah tersebut.
“Saat diambil itulah batu merah itu berubah menjadi seorang bayi laki-laki,” ujar IB Susrama.
Dengan demikian, terkabullah keinginan Ide Dang Hyang Sidi Mantra mempunyai seorang anak. Bayi itu kemudian diberi nama Ide Bang Manik Angkeran. Nama itu memiliki arti yang sangat bagus. Yakni Ide adalah putra seorang brahmana, Bang artinya merah, Manik artinya batu sedangkan Angkeran berarti angker.
Singkat cerita menurut IB Susrama, Ide Bang Manik Angkeran tumbuh besar dan dalam pergaulan saat itu suka berjudi. Semua duwe (harta) dan barang-barang berharga milik Danghyang Sidi Mantra dihabiskan untuk berjudi dan malah banyak tersangkut hutang.
Mengetahui tabiat anaknya yang buruk, Danghyang Sidi Mantra menjadi sangat malu. Beliau kemudian memutuskan berjalan menuju ke timur hingga sampai di kaki Gunung Agung, tepatnya di Pura Besakih sekarang.
“Di tempat itu beliau beryoga. Ditengah yoganya, kemudian muncul seekor naga yang bernama Naga Besukih,” ujar IB Susrama.
Melihat Ide Danghyang Sidi Mantra seperti kesusahan, akhirnya Naga Besukih memberikan emas berlian untuk melunasi hutang-hutang anaknya di barat. Karena paice tersebut, akhirnya hutang-hutang anaknya terlunasi.
Sayangnya menurut yang dikisahkan IB Susrama, karena hutang-hutangnya dibayarin, anaknya yang bernama Manik Angkeran malah keenakan dan kenakalannya semakin menjadi-jadi dan kembali memiliki hutang yang lebih banyak.
“Akhirnya Ide Danghyang Sidi Mantra kembali ke Besakih. Namun tanpa sepengetahuan beliau, anaknya mengikuti dari belakang,” tutur IB Susrama.
Sesampai di Besakih ternyata Ida Danghyang Sidi Mantra tidak melakukan yoga, melainkan hanya menempatkan Bajera Sandi (Genta) di tempat bertemu dengan Naga Besukih. Selanjutnya beliau pergi ke arah hutan.
“Genta tersebut kemudian diambil oleh Ida Manik Angkeran. Kemudian genta tersebut dibunyikan,” ujar IB Susrama.
Saat Genta dibunyikan itulah tiba-tiba keluar Naga Basukih. Dilihat oleh Manik Angkeran, ekor Naga Basukih berisi gelung atau mahkota emas dan intan. Tanpa tanpa pikir panjang Ide Manik Angkeran memotong ekor naga untuk mendapatkan mahkota itu. Mahkota itu rencananya akan digunakan untuk berjudi.
Dalam keadaan naga kesakitan, Ide Manik Angkeran berlari dan bersembunyi di dalam hutan. Naga besukih lalu mencari Ida Manik Angkeran dengan mengikuti jejak kakinya. Jejak kaki Ida Manik Angkeran dijilat oleh Naga Besukih. Saat itu Ide Manik Angkeran terlempar keluar di bawah pohon cemara dalam keadaan geseng atau hangus terbakar dan tidak bernyawa.
“Di lokasi kejadian itulah saat ini dinamakan ‘Pegesengan’ dan banyak tumbuh pohon cemara sampai sekarang,” tutur IB Susrama.
Tidak berselang lama lanjut IB Susrama mengisahkan, Danghyang Sidi Mantra keluar dari hutan kaki Gunung Agung dan sampe di hutan cemara pegesangan, beliau sangat kaget melihat putranya hangus terbakar.
Ide Danghyang Sidi Mantra punya firasat dengan Naga Besukih. Lalu dengan segera beliau ke tempat linggih Naga Besukih. Sampai di lokasi, beliau sangat kaget melihat bajera dan peralatan dirinya berserakan. Kemudian Ide Danghyang Sidi Matra bersemedi untuk mohon kehadiran Naga Besukih.
Tidak brp lama naga besukih keluar dengan ekor buntung. Ida Danghyang Sidi Mantra memohon agar putranya dihidupkan kembali. Naga Besukih menyanggupi, tapi dengan satu syarat, yakni agar Ida Danghyangan Sidi Mantra mengembalikan gelung milik Naga Besukih dikembalikan.
“Naga Besukih juga meminta agar Gelung tersebut ditempatkan di Kepalanya,” tutur IB Susrama.
Karena itu, Ida Danghayangan Sidi Matra kemudian mencari Gelung tersebut di lokasi putranya hangus terbakar (Pegesengan) dan berhasil menemukan gelung tersebut. Kemudian menempatkan gelung tersebut di Kepala Naga Besukih sesuai permintaan. Selanjutnya, Naga Besukih menghidupkan kempali Ida Bang Manik Angkeran.
Saat itu Naga Mesukih mohon agar putra beliau diasuh oleh Naga Besukih di Besakih dan Ida Danghyang Sidi Mantra diminta untuk berjalan menuju Barat dengan menbawa jajan satuh dan dodol. Jajan tersebut dipikul menggunakan kayu kelor.
Kemudian Danghyang Sidi Mantra kembali berjalan ke barat sambil membawa perbekalan jajan satuh putih dan jajan dodol hitam yg diberi oleh naga besukih dan kayu kelor untuk alat pikul. Hingga beliau sampai di tempat ceking tingting yaitu daratan yang ceking atau cekung dan di tempat tersebut beliau beristirahat.
Saat beristirahat itu, beliau ingat dengan putranya. Karena kesetiaan beliau kepada Naga Besukih, Ida Danghyang Sidi Matra kuatir akan putranya pergi meninggalkan Naga Besukih menuju barat. Beliau berkeinginan untuk membongkar atau memutus daratan ceking tersebut. (Daratan ceking saat ini bernama Segara Rupek atau Segara Ngerupek).
“Untuk mengwujudkan keinginannya itu, beliau kemudian bersemedi dengan mempersembahkan jajan dodol hitam diletakan di sebelah barat dan jajan satuh putih diletakan di sebelah timur,” tutur IB Susrama.
Saat bersemedi itulah menurut yang dituturkan IB Susrama, para wong samar datang dan mereka bersama-sama meminta kepada Hyang Widi (Siwa) agar daratan ceking dijebol atau diputus. Akhirnya tak lama berselang, daratan ceking bisa diputus dan air laut kemudian masuk. Sejak itulah daratan sebelah barat dipisahkan oleh laut dengan daratan timur (Pulau Jawa dan Pulau Bali). Laut yang memisahkan dua daratan itu sekarang disebut Selat Bali.
Karena sukses memisahkan daratan menjadi dua, para dedemit dan wong samar kemudian meminta upah kepada Ida Danghyang Sidi Mantra berupa sesajen tiap tahunnya. Kemudian permintaan itu disanggupi, tiap tahunnya dilaksanakan upacara petik laut atau pekelem.
Jajan (kue) dodol hitam di tempatkan di barat yg sekarang dikenal Watu Dodol/Jatim dan jajan satuh di letakan di timur, Bali. Dan pasir di Watu Dodol warna hitam sementara pasir di sisi timur warna putih.
Ide Danghyang Sidi Mantra juga memilih beryoga di sebelah timur tepatnya di Pura Segara Rupek. Untuk patok pemisahan Jawa-Bali dipancang oleh para dedemit dan wong samar di Pura Prapat Agung karena di Pura Dang Kahyangan Prapat Agung adalah titik nol (O) Nusa Antara atau Nusantara atau dikenal Tapak Dara Nusantara di Pura Dang Kahyangan Prapat Agung, Taman Nasional Bali Barat, Kabupaten Jembrana.
“Patok ini sampai sekarang masih ada di Pura Dang Kahyangan Prapat Agung dengan pohon sawo kecik yg dijaga oleh Ratu Niang Sakti atau Ide Betari Melanting atau Ratu Diratu wong samar. Patok pohon sawo kecik sampe skrg masih hidup,sisi barat hitam dan sisi putih,” tuturnya.
Dengan legenda budaya tersebut menurut IB Susrama, diyakini turun temurun oleh warih Ida Danghyang Sidi Mantra serta umat Hindu Bali, sehingga dari sisi Agama Hindu, adat serta budaya Bali sangat beresiko membangun jembatan penghubung di selat bali.(dewa darmada)