Busyeeet…! Tanah Negara Dikontrakkan Oknum Warga ke Investor Tambak Udang Senilai Ratusan Juta Rupiah
JEMBRANA, jarrakposbali.com | I Nyoman Nediana, seorang oknum warga Bajar Anyar Kelod, Desa Penyaringan, Kecamatan Mendoyo, Jembrana, diketahui telah mengontrakan tanah negara (TN) kepada salah seorang investor asal Jakarta.
Tanah negara (TN) yang dikontrakkan tersebut seluas 50 are yang berlokasi di pinggir pantai dan di dekat muara sungai Penyaringan. Dengan nilai kontrak sebesar Rp 105 juta per tiga tahunnya.
Tanah negara tersebut dikontrak oleh Lioe Robin, salah seorang investor asal Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat, untuk dijadikan tambak udang, yang saat ini proses pengerjaan tambak udang sedang berlangsung.
Fakta ini terungkap setelah sejumlah warga setempat mempertanyakan pembangunan tambak udang di atas tanah negara tersebut. Warga menduga ada keterlibatan oknum pejabat di desa dalam proses sewa kontrak tanah negara.
Dari penulusuran tim Jarrakpos di lokasi, ditemukan adanya bukti perjanjian sewa kontrak antara I Nyoman Nediana, oknum warga setempat dengan Lioe Robin, investor asal Jakarta. Perjanjian sewa kontrak tersebut dibuat pada Kamis, 22 Februari 2024, ditadatangai kedua belah pihak dan dua orang saksi.
I Nyoman Nediana dikonfirmasi di lokasi membenarkan bahwa dirinya telah mengontrakkan tanah seluas 50 are tersebut kepada investor asal Jakarta untuk usaha tambak udang, dengan nilai kontrak Rp 105 juta per tiga tahun.
“Tapi sekarang baru dibagun tambak sekitar 15 are. Ini tahap uji coba, kalau hasilnya bagus baru nanti di bangun seluruhnya,” ujar Nediana, Rabu (16/4/2024).
Dia juga mengaku tanah yang dikontrakkan tersebut merupakan tanah timbul yang awalnya muara sungai. Karena muara sungai berpindah, kemudian muncul tanah timbul dan hingga saat ini menurutnya status tanah tersebut merupakan tanah negara (TN).
“Sebenarnya saya sudah mengajukan permohonan menjadi hak milik. Tapi permohonan saya itu tidak pernah ditanggapi oleh Perbekel Penyaringan,” kilah Nediana.
Lantaran pengajuan permohonan hak milik tidak pernah ditanggapi oleh pihak Perbekel Penyaringan, dia kemudian meminta bantuan kepada LSM, Komite Nasional Penyelamatan Aset Negara (Komnas Pan) Provinsi Bali melalui kerabatnya dengan perjanjian pemberian fee 25 persen untuk Komnas PAN.
“Itu nanti kalau sudah berhasil menjadi hak milik, saya wajib memberikan fee atau komvensasi ke Komnas PAN sebesar 25 persen dari aset yang berhasil di SHM,” tutur Nediana.
Sebagai bukti bahwa pengurusan permohonan hak milik itu sudah berjalan, menurut Nediana, Komnas PAN memasang spanduk di lokasi, sebagai tanda tanah tersebut dibawah pengawasan Komnas PAN.
“Tapi hingga sekarang saya belum tahu prosesnya dan saya belum menerima SHM. Tanah ini statusnya masih tanah negara,” imbuhnya.
Saat ditanya apakah investor yang mengontrak tanah untuk tambak udang sudah memiliki ijin atau belum, Nediana mengatakan sudah memiliki ijin OSS dan ijin dari Kabupaten Jembrana. Namun bukti fisik ijin tersebut dirinya tidak ada.
Sementara itu Lioe Robin, sebagai pihak pengontrak tanah negara belum bisa dikonfirmasi. Dicoba menghubungi melalui telpon dalam keadaan aktif, namun tidak diangkat. Demikian halnya saat dihubungi melalui pesan WhatsApp tidak ada respon sama sekali.
Dikonfirmasi terpisah, Perbekel Penyaringan I Made Dresta membenarkan adanya warga yang mempertanyakan pembangunan tambak di atas tanah negara yang berada di desanya, tempatnya di pesir pantai penyaringan dan di dekat muara sungai, Banjar Anyar Kelod.
Dia juga membenarkan ada oknum warganya yang mengontrakan lahan tersebut kepada investor tanpa adanya dasar bukti kepemilikan, dengan nilai kontrak ratusan juta rupiah per tiga tahun. Saat ini menurut Dresta masih tahap pembangunan tambak udang.
“Saya sempat mengecek ke BPN terkait status tanah tersebut, dan penjelasan BPN itu merupakan tanah negara,” terang Dresta ditemui di ruang kerjanya.
Dresta juga membenarkan bahwa Nediana, oknum warganya sempat mengajukan surat permohonan hak milik. Namun permohonan itu belum ditindaklanjuti karena belum adanya kesepakatan antara Nediana dengan desa adat.
“Saya sarankan untuk bermusyawarah dulu dengan desa adat karena desa adat juga punya keinginan atau rencana memohon tanah tersebut untuk kepentingan desa adat. Karena belum adanya kesepakatan makanya permohonan belum bisa diproses,” tutur Made Dresta.
Pihaknya juga sudah sempat bertemu dengan investor menanyakan masalah tersebut dan memang telah terjadi sewa kontrak. Perjanjiannya dibuat internal berdua tanpa melibatkan notaris.
“Investor juga mengaku sudah memiliki ijin OSS dan ijin dari Kabupaten (Bupati) tembusannya ada di kami,” ujar Dresta.
Namun saat dicek mengenai perijinannya, ternyata investor tersebut baru memiliki ijin berbasis OSS. Baru memiliki ijin NIB (Nomer Induk Berusaha). Sementara untuk ijin Kesesuai Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) belum ada.
Semestinya pihak investor wajib mengurus ijin KPPR sebelum memulai pembangunannya. Ijin KPPR ini dikeluarkan oleh Pemkab Jembrana dengan syarat melampirkan bukti kepemilikan lahan tempat usaha.
“Kami dari pemerintah desa sebenarnya sudah minta pembangunannya dihentikan dan kami akam segera bersurat ke kabupaten agar masalah ini disikapi,” tutup Dresta.(ded)