BALI-JARRAKPOSBLAI.COM – VIRUS corona (COVID-19) memang hebat. Virus kecil maha dahsyat ini bukan hanya menyerang imunitas tubuh tetapi juga memmporakporandakan pola pikir dan inteligensi manusia. Sehingga muncul sejumlah konsep dan ide yang bertentangan dengan tradisi dan kebiasaan umum masyarakat Bali.
Ide terbaru yang menimbulkan pro-kontra publik terutama krama adat Bali adalah rencana Nyepi 3 hari (rencananya 18, 19, dan 20 April mendatang).
Reaksi pro-kontra pun bermunculan. Salah satunya adalah reaksi tokoh muda Bali Gede Pasek Suardika, mantan Ketua Komisi III DPR RI yang kini menjabat Sekjen DPP Partai Hanura. Dalam tanggapannya lewat viieo dan akun Facebooknya, mantan politisi Demokrat yang berprofesi pengacara itu pada dasar mendukung pembatasan kontak masyatakat untuk segera memutus penyebaran virus corona namun jangan menggunakan istilah Nyepi.
“Lebih baik lockdown saja dengan istilah lockdown berbasis keriafan lokal Bali. Pakai saja istilah lockdown ala Bali. Tetapi tidak terkait dengan urusan Yadnya Brata Penyepian, apakah itu istilah Eka Brata, Dwi Brata, Tri Brata, ataupun Catur Brata Penyepian,” saran Pasek Suardika dalam cuitan di akun Facebooknya.
Pasek Suardika memiliki sejumlah argumentasi, salah satunya kesiapan masyarkat dalam penyediaan kebutuhan hidup atau logistik masyarakat menjalani keputusan itu.
Pun demikian, Pasek Suardika tetap mengimbau masyarakat untuk taat kepada Guru Wisesa atau pemerintah. “Masyarakat patuh dengan Guru Wisesa walaupun dasar sastranya belum jelas dan instruksi dari Kepala Dinas Pemajuan Desa Adat bukan MDA atau PHDI,” cuit Pasek Suardika lagi di FBnya.
“Yang pasti sebagai rakyat, ikuti saja saran pemerintah yang baik karena tujuannya baik tetapi jangan juga sampai kehilangan nalar kritis menyikapinya,” pungkas Pasek Suardika di cuitan FBnya.
Pandangan berbeda dengan rencana Nyepi 3 hari juga datang dari Ketua DPD LPM Kabupaten Buleleng, Made Teja, S.Sos.
“Tiang bukannya tidak setuju tetapi kurang tepat adanya Nyepi 2 kali dalam setahun bagi umat Hindu Nyepi. Tahun Saka Hindu yang jatuh pada Tilem Kesange sekali dalam satu tahun, terkecuali ada pecaruan desa secara khusus itu adalah adat dan tradisi setempat itu desa kala patra,” ucap Teja kepada media ini via WhatsApp.
“Ini artinya PHDI terlalu membuat-buat entah apa pertimbanganya membuat ritual Nyepi yang direncanakan dan alasanya COVID-19. Bagi saya tidak masuk akal, kondisi saat ini pemerintah membantu masyarakat miskin dengan adanya imbauan diam di rumah itu cukup,” sambung Teja lagi.
Teja minta para pejabat di Bali lebih arif dalam situasi kungkungan wabah COVID-19, dan tidak membuat kebijakan yang kian menambah beban pikiran bagi masyarakat dalam situasi mencekam ini.
“Disinilah semoga para elit pejabat pemegang kebijakan cerdas bahkan harus lebih cerdas dari rakyat dalam mengambil keputusan agar tidak menjadi pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat apalagi ditanggapi politis itu artinya sudah meremehkan plestarian adat dan budaya Bali di depan dunia internasional. Ini mohon dipahami istilahnya rakyat cerdas pemimpinnya berkualitas,” tandas Teja.
Teja menilai, COVID-19 bukan semata ada kaitanya dengan ritual keagaamaan, tetapi ini masalah kimia-biologis yang tahu adalah team medis bukan wilayahnya lembaga keagamaan untuk mencari cara menanggulangi COVID-19.
“Nanti pecaruan Nyepi itu darimana sumber dana? Kalau APBD tidak mungkin. Mohon maaf ini, masyarakat Bali tahu adanya Nyepi pada tilem kesange, Nyepi hanya setahun sekali ,” tandas Teja lagi.
Tanggapan public di medsos Facebook pun sangat ramai. Hingga pukul Selasa (7/4/2020) pukul 09.10 sedikitnya 1.032 netizen yang like dan memberi komentar. Banyak yang mendukung pandangan Gede Pasek Suardika. Ada pula yang mempertanyakan sejak kapan Nyepi dua kali dalam setahun. Ada netizen yang berkomentar tentang kesiapan pemerintah Bali menyediakan kebutuhan hidup bagi masyarakat selama tiga hari Nyepi itu.
Penulis: Francelino
Editor: Jering Buleleng