Nasional

TANGGAPAN MADE TEJA: NYEPI ADAT SANGKET SEBAGAI SENGKETA SEKALA DAN NISKALA

SANGKET-JARRAPOSBALI.COM – PEREDEBATAN antara kubu Made Teja dengan Desa Adat Sangket tentang Nyepi Adat yang digelar Sabtu (25/4/2020) lalu terus berlanjut. Tampaknya Teja belum puas dengan penjelasan Kelian Desa Adat Sangket, Gede Tinggen bersama pengurus lainnya.

Bahkan Made Teja berencana akan bersurat resmi ke Majelis Madya Desa Pakraman Buleleng dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Buleleng.

Mantan anggota FPDIP DPRD Buleleng itu tetap mempertanyakan dasar penyelenggaraan Nyepi Adat yang hanya berupa kerauhan atau pesutri. “Nyepi Adat Sangket Sabtu tanggal 25 April 2020 walaupun dikatakan atas dasar pesutri kesurupan Jumat tanggal 24 April 2020, tetapi pengamatan saya terhadap hal itu (soal orang kerauhan atau kerangsukan) di Desa Adat Sangket sudah sejak setahun berturut turut sehingga membuat krama cemas. Tak mengerti adanya hal itu bahkan desa lain biasa biasa saja kan,” tegas Teja, Rabu (29/4/2020) siang .

Teja bercerita bahwa menurut Nyepi Adat Sangket Sabtu (25/4/ 2020) merupakan hari buruk beteng aryang jangur apalagi dilakukan mendadak tanpa ada rangkaian ritual upacara pecaruan dan persembahyangan di pura kayangan tiga. Jadi, kata dia, penyelenggaraan yang tidak sesuai dengan prosedur upacara penyepian secara turun-temurun maka Teja menilai bahwa Nyepi Adat Sangket adalah sengketa sekala dan niskala. “Itu tetap jadi sengketa sekala dan niskala. Tetap dianggap keliru keputusan prajuru Desa Adat Sangket,” tegas Teja yang juga Ketua DPD LPM Kabupaten Buleleng itu.

Ia kemudian memberi contoh upacara Nyepi Adat di beberapa desa adat di Buleleng, seperti di Desa Adat Banyuning. “Yang dimaksud Nyepi Adat adalah desa adat yang sudah memiliki tradisi sejak zaman abad ke- 13. Contoh di Buleleng, Desa Adat Banyuning, purnama kelima itu diawali musaba desa tujuan ngajegang gumi. Sedangkan Desa Adat Sangket tidak memiliki tradisi Nyepi Desa Adat dari leluhur kami. Inilah aneh Nyepi karena COVID-19. Salah besar Nyepi adalah hari suci umat Hindu tidak bisa dilakukan atas kehendak sendiri. Itu pelecehan Agama Hindu menurut saya dengan rasa tanggung jawab,” kritik Teja.
Teja menceritakan bahwa di Bali ada 4 tradisi penyepian. Pertama, Nyepi tahun caka jatuh pada tilem kesange; Kedua, Nyepi Adat yaitu nyepi yang dilakukan sebuah tradisi desa adat tertentu dengan rangkaian upacara adat tradisi desa itu sendiri; Ketiga, Nyepi Subak Abyan; dan keempat, Nyepi Subak Sawah sudah menjadi tradisi masing-masing subak.

“Jika atas dasar kerauhan yang kita ketahui ada 4 jenis kerauhan. Pertama, kerauhan dewa, itu sangat sakral; Kedua, kerauhan butha. Itu adalah roh halus, jin bhuta cuil, sejenis roh-roh menggangu kehidupan manusia memiliki kekuatan sering merangsuki manusia karena butuh upah-upahan atau aci aci,” sebut Teja.

Apa kerauhan ketiga? “Ketiga, kerauhan Nadi, itu karena belajar ilmu pelajaranya nadi, atas penugrahan beliau yang diyakini; Keempat, kerauhan karena pecadi manusia sakti. Itu bebai, sakit jiwa, stres mudah bebai,” urai Teja lagi.

“Inilah kajian saya bahwa perlu dipahami kalau mengenal spiritual agar tidak serta merta percaya dengan oknum kerauhan dijadikan keputusan desa. Kami sangat berkeberatan itu maka Nyepi Adat Sangket anggap sengketa sekala dan niskala,” pungkas Teja.

Apa tanggapan Desa Adat Sangket?

Senin (27/4/2020) sore, Kelian Desa Adat Sangket Gede Tinggen bersama pengurus lainnya melakukan klarifikasi terhadap keberatan sekaligus tudingan yang disampaikan Teja yang juga Ketua DPD LPM Kabupaten Buleleng itu.

“Kebetulan kemarin, sebelum kemarin malam (Jumat, 24 April 2020 malam) kita di Desa Adat Sangket secara niskala melakukan nejer pejati di 4 pura besar di Sangket yaitu Pura Desa, Pura Dalem, Pura Mengening, dan Pura Bukit selama 3 hari 3 malam dengan mekemit. Desa Adat Sangket agak sedikit berbeda dengan desa adat yang lain. Kita adalah salah satu desa adat tua sehingga Desa Adat Sangket ini ada istilahnya pesutri. Kita masyarakat Desa Adat Sangket sangat menyakini itu bahwa apa yang disampaikan itu merupakan sesuatu yang berasal dari sesunan (leluhur) di Sangket. Pengalaman (masa lalu) membuat masyarakat Desa Adat Sangket meyakini. Jadi kalau masyarakat tidak mentaati itu akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh karena masyarakat percaya bahwa pesutri menyampaikan hal-hal yang disampaikan oleh sesunan dan Ida Bathara,” jelas Kelian Desa Adat Sangket, Gede Tinggen didampingi I Nyoman Gede Remaja, SH, MH, Bidang Penyelesaian Sengketa Satgas Gotongroyong COVID-19 Desa Adat Sangket.

Diceritakan Kelian Adat Gede Tinggen, Jumat (24/4/2020) malam saat mekemit di pura, salah satu pesutri menyampaikan bahwa di Desa Adat Sangket agar dilakukan penyepian adat Sabtu (25/4/2020). “Nah, pada malam itu, salah satu pesutri menyampaikan bahwa di Desa Adat Sangket agar dilakukan penyepian adat besok, untuk mencoba kita mengendalikan lalulalang krama adat di Sangket,” cerita Kelian Adat Gede Tinggen dibenarkan Remaja.

Terkait dengan penggunaan istilah atau kata Nyepi kali ini, Remaja mengakui bahwa Nyepi (Adat) dari segi agama memang tidak dibenarkan digelar berkali-kali. Kata Nyepi Adat dipakai hanya sebagai istilah. “Memang dari isi agama, tidak ada Nyepi yang berulang-ulang. Itu cuma istilah saja yang kami pakai agar masyarakat bisa memahami bahwa pada hari kemarin kalau tidak ada kepentingan mendesak jangan keluar dari desa adat. Itu intinya,” jelasnya.

Penulis: Francelino
Editor: Jering Buleleng

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button