SINGARAJA-JARRAKPOSBALI.COM – Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali, dikeluhkan warga setempat.
Ini lantaran Dinas Lingkungan Hudup (DLH) Kabupaten Buleleng tidak peduli dengan kondisi tanah dan kondisi warga di sekitar TPA itu. Sampah yang sudah berbentuk bukit tinggi itu menyebabkan tanah milik warga di sekitarnya tidak produktif lagi serta membuat warga yang mendiami lahan di sekitarnya harus meninggalkan tanahnya karena cukup mengganggu menyamanan dan kesehatan mereka.
Salah satu warga yang tanahnya berbatasan langsung dengan TPA itu adalah Nyoman Dana dan keluarganya. Tanah milik Dana yang kini menjadi korban keberadaan TPA itu seluas 72 are yang sebelumnya sangat produkif dan menjadi sumber pendapatan bagi keluarga itu kini tidak bisa lagi ditanam apa-apa karena sudah kehilangan kesuburan tanah akibat sampah-sampah tersebut.
“Tanah bapak saya itu sudah tidak bisa ditanami tanaman sekarang, karena tidak bisa tumbuh akibat sampah. Tanah sudah tidak subur lagi. Padahal itu satu-satunya sumber pendapatan bapak saya,” ujar Gede Sugianta, anak Nyoman Dana, kepada Jarrakposbali.com, Senin (16/3/2020) siang di gedung dewan usai mengadu ke dewan.
Sugianta menceritakan bahwa empat tahun lalu keluarga Nyoman Dana sudah menyampaikan keluhan tentang gangguan sampah-sampah di TPA itu kepada DLH Kabupaten Buleleng. Kala itu, cerita Sugianta, karena tanah itu produktivitas sudah hilang dan tidak bisa tinggal lagi berdampingi dengan sampah yang mengeluarkan bau tidak sedap, sehingga ayahnya rela melepaskan tanah tersebut kepada Pemkab Buleleng untuk dibelinya.
“Karena kondisinya sudah kayak ini, maka kami tawarkan ke Pemkab Buleleng untuk membeli. Tanah itu tidak bisa ditanami lagi apa-apa, pasti tidak tinggal di sana,” paparnya. “Tapi kurang mendapat respon dari pemerintah,” lanjutnya.
Kesuburan tanah milik Dana itu hilang, kata Sugianta, karena melubernya sampah dari berbagai jenis ke dalam tanah milik Dana. Karena sampah itu membuat kesuburan tanah hilang. Sebelumnya ditanam manga dan jenis tumbuhan lainnya yan menjadi sumber pendapatan keluarga Dana, tapi sekarang tanah tersebut benar-benar sudah tidak ditanam apa-apa lagi seperti dulu. “Sampah-sampah meluber dalam tanah bapak saya. Ironisnya, batas TPA degan tanah bapak saya Cuma dipasangan gawat berduri, bukan tempok sehingga sampah-sampah meluber ke tanah bapak saya,” ungkap Sugianta.
Ia membeberkan bahwa empat tahun lalu Pemkab Buleleng melalui DLH sudah sempat bernegosiasi dengan ayahnya untuk membeli tanah itu sebagai perluasan TPA. Dana dan keluarganya pun rela melepaskan tanah itu untuk dibeli Pemkab Buleleng karena menyadari kondisi lahan yang sudah tidak subur lagi. Sayang, janji tinggal janji. Sampai sekarang tidak ada tindak lanjut dari pembicaraan itu, seolah masalah digantung sehingga membuat Dana dan keluarga binggung dan menderita.
“Kami sudah ke DLH tapi Kadisnya tidak ada, hanya Kabid yang terima kami. Katanya sih sudah dana, tetapi keputusannya di atasannya,” cerita Sugianta.
Kemudian Sugianta pun menyampaikan masalah itu kepada Ketua DPRD Buleleng, Gede Supriatna, namun jawabannya terkesan memihak pada pemerintah dan mengabaikan penderitaan keluarga Dana yang menjadi korban keberadaan TPA Bengkala itu.
Kendati mendapat tanggapan kurang memuaskan dari DLH dan Ketua DPRD Buleleng, namun Sugianta tidak putus asa. Ia mencoba mencari keadilan dengan bertemu Ketua Komisi IV DPRD Buleleng, Luh Hesti Ranitasari. Kata Sugianta, ternyata dia mendapat respon positif dari srikandi Partai Demokrat itu. “Bu Rani bagus tanggapannya. Bu Rani peduli dan berusaha untuk memperjuangkan masalah ini ke dinas terkait,” cerita Sugianta.
Penulis: Francelino
Editor: Jering Buleleng