
jarrakposbali.com, SEMARAPURA – Tim Panitia Khusus (Pansus) Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (TRAP) DPRD Provinsi Bali akhirnya turun gunung ke proyek pembangunan yang sedang berpolemik, tepatnya di proyek lift kaca setinggi 180 meter di tebing Pantai Kelingking, Nusa Penida, Klungkung. Tim Pansus turun langsung ke lokasi pada Jumat (31/10) untuk menelusuri kejelasan izin proyek senilai Rp 200 miliar tersebut.
Hasil sidak di lapangan langsung berujung pada keputusan tegas yakni proyek dinyatakan dihentikan sementara dan disegel, menyusul ditemukannya pelanggaran tata ruang, ketidaklengkapan izin, serta indikasi risiko keselamatan yang tinggi. Segel dipasang oleh Satpol PP Bali atas rekomendasi Pansus TRAP hingga seluruh dokumen perizinan dan aspek teknisnya dinyatakan sah dan sesuai ketentuan hukum.
Sidak dipimpin langsung oleh Ketua Pansus TRAP DPRD Provinsi Bali, Dr (C) I Made Supartha SH., MH , didampingi Wakil Ketua Anak Agung Bagus Tri Candra Arka, serta Kasatpol PP Provinsi Bali, I Nyoman Dewa Dharmadi. Turut hadir pula anggota DPRD Kabupaten Klungkung, di antaranya Wakil Ketua DPRD Klungkung I Wayan Baru, Ketua Komisi II Ary Priyadnya, Komang Alit Sudiana, Ida Bagus Ketut Arimbawa, Ni Ketut Sukarni, dan I Ketut Dadi.
Selain jajaran legislatif, sidak juga melibatkan berbagai instansi teknis dari tingkat provinsi dan kabupaten, seperti Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPR) Provinsi Bali dan Klungkung, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP), Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LHK), Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), serta Badan Pertanahan Nasional (BPN) Klungkung dan rombongan lainnya.
Sidak dilakukan menyusul ramainya kritik publik terkait dugaan kelalaian dalam pengawasan dan penerbitan izin pembangunan lift kaca di kawasan wisata ekstrem itu. Fasilitas yang diklaim akan mempermudah wisatawan menuju pantai justru dianggap mengancam kelestarian tebing alami Kelingking yang menjadi ikon pariwisata dunia.
Setelah mendengarkan keterangan dari pengembang, dinas teknis, dan pemerintah daerah, Pansus TRAP merekomendasikan kepada Satpol PP Provinsi Bali agar menghentikan sementara seluruh aktivitas pembangunan hingga status perizinan dan legalitas proyek benar-benar jelas.
Ketua Pansus I Made Supartha mengungkapkan, dari hasil penelusuran di lapangan ditemukan sejumlah pelanggaran, baik dari aspek tata ruang maupun perizinan dasar. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), serta merujuk pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, area tebing dan sepadan pantai termasuk dalam zona mitigasi bencana yang tidak boleh dimanfaatkan untuk pembangunan dalam radius 100 meter dari tebing.
“Dalam Pasal 50 ayat (3) UU Nomor 26 Tahun 2007 sudah jelas disebutkan, di wilayah mitigasi bencana seperti tebing dan sepadan laut tidak boleh dilakukan kegiatan pembangunan. Jadi ini harus dihentikan dulu sampai jelas dasar hukumnya,” tegas Supartha yang juga Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali.
Dalam rapat di lokasi, terungkap bahwa proyek lift kaca ini dikerjakan oleh PT Bangun Nusa Properti (BNP) di atas lahan seluas sekitar 4,5 are yang disewa dari Desa Adat Bunga Mekar. Direktur perusahaan, I Komang Suantara, menyebut lahan tersebut dikembangkan melalui kerja sama dengan desa adat dengan pola bagi hasil tetap, bukan persentase.
“Bagi hasil itu per bulan 250 juta rupiah untuk desa adat, sudah ada perjanjian legal yang ditandatangani notaris,” ujar Suantara di hadapan tim Pansus. Ia juga menjelaskan bahwa proyek ini disebut sebagai A Glass Cleaning Platform Lift yang berfungsi sebagai akses vertikal ke pantai.
Namun, Supartha menyoroti skema kerja sama dan besaran nilai yang dinilai tidak proporsional dibandingkan estimasi pendapatan usaha yang disebut mencapai Rp8–9 miliar per bulan. “Dari pendapatan sebesar itu, bagian untuk banjar adat hanya 250 juta. Itu pun tanpa pola persentase. Ini perlu ditinjau ulang,” kata Supartha Politisi asal Partai bermoncong putih ini.
Permasalahan semakin kompleks ketika diketahui bahwa rekomendasi teknis dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) serta Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPR) Provinsi Bali yang dijadikan dasar pengajuan izin ternyata bukan berupa izin resmi, melainkan hanya surat keterangan situasi lapangan.
Perwakilan Dinas PUPR Provinsi Bali yang hadir menjelaskan bahwa surat dari instansinya ‘bukan rekomendasi teknis’ melainkan hanya tinjauan berdasarkan kajian hidrologi dan oseanografi yang disusun dari permohonan pihak pengembang. “Surat itu hanya menerangkan kondisi lapangan, bukan izin pelaksanaan,” jelasnya.
Namun, berdasarkan surat balasan Dinas PUPR tahun 2022, pengembang tetap mengantongi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dari Pemerintah Kabupaten Klungkung. PBG tersebut diterbitkan mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 2 Tahun 2022 tentang Bangunan Gedung, yang menggantikan mekanisme Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Menanggapi hal ini, Supartha mempertanyakan dasar hukum penerbitan PBG tanpa rekomendasi ruang dari instansi teknis terkait. Ia menegaskan, dalam prinsip tata ruang, pejabat yang mengeluarkan izin di titik yang tidak sesuai peruntukan ruang dapat dikenai sanksi pidana sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007.
“Ini bukan soal menolak investasi, tapi investasi harus sejalan dengan aturan tata ruang dan keselamatan lingkungan. Kalau lokasi ini zona pelindungan, tidak boleh ada bangunan komersial, apalagi di tebing curam seperti ini,” ujarnya.
Ia juga meminta Pemerintah Kabupaten Klungkung dan seluruh instansi terkait untuk mengevaluasi ulang seluruh dokumen izin, termasuk Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Perizinan Berbasis Risiko (OSS) yang digunakan pengembang. Pansus menemukan indikasi kekeliruan klasifikasi usaha karena proyek dengan risiko tinggi seperti lift kaca seharusnya berada di bawah kewenangan provinsi, bukan kabupaten.
“Jangan sampai ada manipulasi data atau kelalaian dalam OSS. Kalau zona ini masuk wilayah perlindungan setempat, maka izin otomatis batal demi hukum,” tegas Supartha yang juga merupakan Anggota Komisi I DPRD Bali.
Supartha mempertanyakan alasan tersebut karena proyek lift kaca seharusnya dikategorikan sebagai kegiatan berisiko tinggi, mengingat lokasinya di tebing curam dan melibatkan struktur vertikal besar. “Kenapa ini bisa masuk kategori berisiko rendah? Ini kan pembangunan di tebing dengan potensi bahaya tinggi. Kalau OSS-nya diisi sendiri oleh pemohon tanpa klarifikasi dari pemerintah, ya ini fatal,” ucapnya.
Perwakilan dari Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kabupaten Klungkung mengakui bahwa pengisian OSS dilakukan secara mandiri oleh pelaku usaha. kata mereka, untuk OSS RBA sekarang, datanya diinput sendiri oleh pemohon. Dinas baru melakukan klarifikasi ketika izin lanjutan, seperti PBG, sudah terbit. Nah, di tahap itulah baru cross-check ulang terhadap risiko yang dimasukkan.
Selain pelanggaran tata ruang, proyek ini juga belum memiliki surat rekomendasi dari bidang kebudayaan yang seharusnya wajib karena lokasi pembangunan berdekatan dengan kawasan suci Pura. “Kalau dekat tempat ibadah seperti pura, masjid, atau gereja, harus ada rekomendasi dari Dinas Kebudayaan agar tidak menimbulkan konflik kesucian. Tapi ternyata dokumen itu belum ada,” ujarnya.
Persoalan lainnya muncul saat pengembang mengaku tidak memiliki dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dan hanya melampirkan UPL-UKL (Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan). Alasannya, proyek tersebut dikategorikan berisiko rendah, sehingga tidak diwajibkan membuat Amdal. “Lahan memang kecil, tapi risikonya besar karena berada di tebing dan dekat laut. Jadi alasan itu tidak bisa diterima,” tegas Supartha.
Disisi lain, Kasatpol PP Bali I Nyoman Dewa Dharmadi yang turut hadir dalam sidak menegaskan, laporan dari Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bali menyebut kegiatan pemasangan lift di tebing Kelingking belum memenuhi syarat K3.
“Dari hasil kajian Disnaker, lokasi pemasangan lift ini tidak termasuk tempat kerja, tetapi kegiatan konstruksi yang dilakukan belum sesuai dengan ketentuan K3. Proyek dikerjakan oleh perusahaan non-PJK3 tanpa petunjuk resmi dan belum mendapatkan pengesahan gambar teknis serta izin pemasangan lift dari Kementerian Ketenagakerjaan,” ujarnya membacakan hasil temuan.
Dalam laporan yang baru diterima pagi hari itu, Disnaker menyatakan pembangunan lift kaca berpotensi menimbulkan bahaya besar bagi pekerja maupun wisatawan karena tidak menggunakan tenaga kerja bersertifikasi K3 dan belum mendapat rekomendasi dari kementerian terkait. “Walaupun lift belum beroperasi, pengusaha wajib memenuhi seluruh syarat keselamatan kerja pada tahap konstruksi. Sanksinya bisa berupa penghentian sementara kegiatan,” lanjut Dharmadi.
Selain temuan terkait K3, Pansus TRAP juga menyoroti aspek desain bangunan yang dinilai tidak mencerminkan karakter arsitektur tradisional Bali. Supartha kemudian mempertanyakan alasan pengembang tidak mempertimbangkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 25 Tahun 2005 yang mengatur tentang penerapan elemen arsitektur lokal pada setiap bangunan.
“Dalam aturan itu jelas disebutkan setiap pembangunan wajib menyesuaikan dengan nilai budaya dan alam Bali. Tapi lift kaca ini malah mencerminkan gaya modern, berbahan kaca dan logam, yang sangat kontras dengan lingkungan tebing alami di Kelingking,” ujarnya.
Perwakilan Dinas PUPR berdalih bahwa proyek ini telah melalui koordinasi dengan Tim Profesi Ahli Bangunan Gedung (TPA) yang beranggotakan akademisi. Namun, Supartha tampak tidak puas dengan jawaban tersebut. Ia meminta agar pihak PUPR menunjukkan bukti visual penerapan arsitektur lokal pada desain lift.
“Kalau memang sudah diakomodir, tunjukkan gambarnya. Dari hasil tinjauan kami, lift itu tidak menunjukkan unsur arsitektur Bali sama sekali. Ini penting, karena Bali punya aturan tegas soal identitas budaya bangunan,” tegasnya.
Selain itu, Pansus juga menyoroti hasil pengukuran lapangan yang menunjukkan posisi pondasi lift hanya berjarak sekitar 15 meter dari tebing pantai. Padahal sesuai Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), kegiatan pembangunan dilarang dilakukan dalam radius 100 meter dari tebing atau sempadan pantai.
“Faktanya lift ini nempel di tebing. Artinya, sudah jelas melanggar zona pelindungan setempat. Ini bukan soal estetika saja, tapi juga soal keselamatan dan risiko bencana,” ujar Supartha.
Tim Pansus TRAP menegaskan akan melanjutkan evaluasi mendalam terhadap seluruh izin proyek lift kaca Kelingking, termasuk memanggil pihak-pihak terkait di tingkat provinsi dan pusat. Hingga hasil evaluasi tuntas, proyek senilai Rp 200 miliar ini dinyatakan stop total sementara waktu.
Sementara itu, Wakil Ketua Pansus Agung Bagus Tri Candra Arka alias Gung Cok mengingatkan pentingnya pengawasan terpadu agar penegakan aturan berjalan berimbang dengan kepentingan ekonomi daerah. Ia menegaskan, DPRD Bali tidak menolak investasi, tetapi investasi harus taat regulasi dan tidak merusak lingkungan.
“Kami ingin masyarakat Nusa Penida maju dan PAD meningkat. Tapi jangan sampai alam Bali rusak. Kalau kita biarkan satu tebing dibangun, nanti setiap tebing bisa saja jadi objek yang sama, dan itu berbahaya bagi alam serta citra Bali,” ujarnya.
Ia menambahkan, pihaknya juga meminta masyarakat dan media ikut berperan aktif dalam pengawasan. “Kita sama-sama menjaga. Kalau ada pelanggaran, segera laporkan. Jangan menunggu proyek sudah berdiri baru ribut. Semua pihak harus berani mengawal tata ruang Bali,” ujarnya.
Apakah nantinya jika pengembang sudah melengkapi izin-izin yang diminta proyek akan dapat berjalan lagi? Supartha menerangan tidak semudah itu. pihaknya menerangkan akan memanggil sejumlah pihak terkait untuk melakukan RDP (Rapat Dengar Pendapat). Keputusan akhir nanti akan disampaikan lewat rekomendasi dewan. Namun untuk sementara, pengembang dapat melengkapi izin dahulu, karena jika pun proyek itu melanggar izin pastinya nanti OPD terkait tidak bisa mengeluarkan izin. Jadi untuk sementara Pansus akan mengevaluasi dahulu semuanya terkait hal ini. (Red)



