BeritaMangupura

Perubahan Demografi Bali dan Tantangan yang Mengintai

Arus Migrasi, Pilihan Kerja, dan Kegelisahan Budaya di Pulau Dewata

MANGUPURA,jarrakposbali.com – Data terbaru menunjukkan lebih dari lima ribu warga Bali bekerja ke luar negeri hanya dalam enam bulan pertama 2025. Angka ini mengundang banyak pertanyaan sekaligus kekhawatiran tentang arah perubahan demografi dan dinamika sosial di Pulau Dewata.

Fenomena ini hadir bersamaan dengan derasnya arus pendatang yang membuka usaha dan membangun kehidupan baru di Bali. Situasi inilah yang, menurut sejumlah pemerhati, sedang pelan-pelan mengubah wajah ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Bali.

Pemerhati sosial dan praktisi pariwisata Bali, Dewa Wisnu Arimbawa, melihat perubahan ini bukan sebagai persoalan tunggal, melainkan rangkaian faktor yang saling bertaut. Salah satunya adalah lambatnya pertumbuhan keluarga asli Bali.

Program “Hadiah Anak Ketut” yang dicanangkan Gubernur I Wayan Koster, menurutnya, muncul dari kegelisahan pemerintah melihat menurunnya jumlah keluarga dengan anak empat.

“Program itu menyiratkan kekhawatiran. Pertumbuhan keluarga asli Bali makin lambat, sementara pendatang banyak yang punya anak empat sampai lima. Mereka berani dan total,” katanya di Jimbaran, Minggu 22 November 2025.

Wisnu lalu menceritakan contoh sederhana dari lingkungan tempat tinggalnya. Seorang ibu pendatang memulai usaha kecil di pinggir jembatan dengan satu meja kecil. Dalam seminggu, usahanya berkembang menjadi warung tenda. Bagi Wisnu, keberanian seperti ini menjadi salah satu faktor yang membuat pendatang cepat menancapkan akar di Bali.

“Keberanian membuka usaha membuat hidup mereka berlanjut dan berkembang di Bali. Mereka akan bertambah, dan mendatangkan saudara. Sementara Nak Bali hanya menonton,” ujarnya.

Fenomena lain yang ikut membentuk peta demografi Bali adalah tingginya angka warga lokal yang merantau bekerja ke luar negeri. Wisnu tidak menyalahkan pilihan itu, tetapi ia mengingatkan tentang risiko dan biaya sosial yang muncul di belakangnya.

“Saya hanya sarankan jangan terlalu lama. Maksimal lima tahun. Kumpulkan modal lalu pulang, bangun usaha di Bali,” pesannya.

Menurut Wisnu, peluang usaha dan pekerjaan di Bali sebenarnya terbuka luas. Pendatang dari berbagai daerah mampu mengisi sektor informal, membuka warung, bekerja di proyek bangunan, menjadi penjaga toko, sampai merintis bisnis kecil yang berkembang pesat.

“Kesempatan itu ada. Tapi banyak yang ditinggalkan Nak Bali karena gengsi atau memilih kegiatan sore lain. Akhirnya pekerjaan itu diambil orang lain,” kata Wisnu.

Ia menilai penting bagi pemerintah untuk lebih menanamkan pola pikir wirausaha pada generasi muda Bali. Pelatihan, pendampingan usaha, dan keberanian mengambil pekerjaan dasar dinilai menjadi fondasi penting agar tenaga produktif Bali tidak hanya menjadi penonton di tanah sendiri.

“Jangan hanya sibuk jadi sponsor pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Fokuslah membangun jiwa wirausaha,” tegasnya.

Wisnu mengingatkan, perubahan demografi tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga menyentuh akar budaya Bali. Semakin banyak warga Bali yang merantau, semakin sedikit pula yang terlibat dalam ngayah, melasti, menari, hingga megambel.

Jika budaya berubah wajah dan pariwisata Bali kehilangan keunggulannya, ia khawatir masyarakat akan terlambat menyadari dampaknya.

“Kalau budaya sudah pudar dan pariwisata kalah, kita baru bingung. Lalu ikut berebut kerja non formal di perusahaan milik orang lain,” tutupnya.(JpBali).

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button