Warga Desa Adat Jimbaran Sambangi Pansus TRAP DPRD Bali
Akses Pura Digembok Investor Hingga SHGB Telantar Tiga Tahun

DENPASAR, Jarrakposbali.com | Sekitar 50 orang perwakilan warga Desa Adat Jimbaran melakukan Kirab Budaya, yang diawali persembahyangan bersama di Kantor Desa Adat Jimbaran, sebelum menuju Kantor Wilayah BPN Bali hingga Gedung DPRD Provinsi Bali.
Pasalnya, warga Desa Adat Jimbaran menuntut Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali dan DPRD Provinsi Bali segera turun tangan, guna mengembalikan hak masyarakat atas tanah adat dan memastikan akses menuju pura-pura yang selama ini dibatasi pihak perusahaan PT Jimbaran Hijau.
Kemudian, DPRD Provinsi Bali melalui Tim Panitia Khusus (Pansus) Tata Ruang, Aset Daerah dan Perizinan (TRAP) DPRD Provinsi Bali menerima dan menampung aspirasi masyarakat Desa Adat Jimbaran di Kantor Sekretariat DPRD Provinsi Bali, Rabu, 5 November 2025.
Pada saat itu, Warga Desa Adat Jimbaran menyampaikan aspirasi atas sengketa lahan adat dengan investor PT Jimbaran Hijau yang telah berlangsung lebih dari satu dekade.
Warga mempertanyakan kejelasan status tanah yang dikuasai perusahaan, khususnya terkait Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang disebut telah habis masa berlakunya, yang kini ditelantarkan lebih dari tiga tahun.
Bendesa Adat Jimbaran, I Gusti Made Rai Dirga Arsana Putra menyebutkan selama ini aspirasi masyarakat merasa terhambat, untuk kepentingan sembahyang atau beribadah di tempat suci (pura) yang berada di dalam kawasan PT Jimbaran Hijau.
Bahkan, warga mengalami pembatasan berupa portal dan gembok, sehingga menghalangi umat yang hendak melakukan persembahyangan di Pura Belong Batu Nunggul, Lingkungan Bhuana Gubug, Kelurahan Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung.
“Faktanya di lapangan, kami harus izin dulu untuk sembahyang karena jalan ke pura digembok. Kalau petugasnya tidak ada, kami tidak bisa masuk. Ini bukan hal baru, sudah terjadi bertahun-tahun,” terangnya.
Selain masalah akses, Bendesa Adat Jimbaran juga menyoroti status hukum tanah yang kini menjadi sumber sengketa. Berdasarkan data yang dimiliki desa, Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama PT Jimbaran Hijau telah terbit sejak tahun 1994 dan habis masa berlakunya pada 2019.
Mirisnya, hingga kini, lahan tersebut tidak digunakan atau ditelantarkan selama lebih dari tiga tahun, sehingga secara aturan semestinya kembali menjadi milik negara.
“Sesuai aturan Pemerintah, SHGB yang tidak digunakan atau ditelantarkan selama tiga tahun mestinya sudah kembali ke negara. Kami sudah berkali-kali bersurat ke perusahaan dan BPN, tapi belum ada jawaban. Karena itu, kami datang ke DPRD agar negara hadir menyelesaikan persoalan ini,” kata Bendesa Adat Jimbaran.
Menurutnya, lahan yang kini dikuasai PT Jimbaran Hijau, awalnya merupakan tanah punia dari Desa Adat Jimbaran sebesar Rp35 juta, bukan hasil transaksi jual-beli. Oleh karena itu, tidak wajar jika tanah tersebut kini sepenuhnya dikuasai perusahaan tanpa manfaat bagi masyarakat adat.
“Kalau nilai punianya Rp35 juta, jelas itu bukan jual-beli, tapi bentuk keikhlasan desa adat untuk mendukung pembangunan. Jadi, kami menuntut kejelasan, karena status SHGB-nya sudah habis,” paparnya.
Untuk itu, pihaknya berharap Negara segera hadir di wilayah Negara ini untuk mengambil keputusan sesuai dengan aturan yang dibuat oleh Negara.
“Kami di Desa Adat khan tidak bisa mengambil keputusan apa-apa. Mudah-mudahan nanti Pansus TRAP segera bisa rekomendasi bagaimana tindakan yang harus diambil terhadap masalah ini,” tambahnya.
Terlebih lagi, kepentingan Desa Adat Jimbaran bukan hanya kepentingan pura, tapi secara menyeluruh,
karena SHGB sudah lewat dari tahun 2019.
“Secara menyeluruh SHGB itu dilakukan evaluasi. Kami berharap ada peninjauan terhadap SHGB itu, tapi kami disarankan oleh BP Taskin pak Budiman Sudjatmiko untuk melakukan pencabutan SHGB bukan peninjauan lagi. Kami bersyukur tadi ada perwakilan pak Made Sumantra yang mengungkap sisi awal dari perpindahan hak disana, semoga data itu lengkap. Mudah-mudahan Pansus TRAP bisa menemukan lebih gamblang sesuai data dan fakta yang disampaikan oleh perwakilan pak Made Sumantra,” paparnya.
Langkah DPRD Bali ini diharapkan dapat membuka jalan penyelesaian sengketa yang adil antara Desa Adat Jimbaran dan PT Jimbaran Hijau, sekaligus memastikan agar SHGB yang telah habis masa berlaku dan ditelantarkan benar-benar ditinjau ulang sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
“Kami tidak menolak pembangunan, tapi jangan sampai niat baik masyarakat dan pemerintah justru berujung masalah hukum. Tanah adat harus dikembalikan pada fungsinya untuk kepentingan umat,” ungkapnya.
Disisi lain, secara terpisah pihak PT Jimbaran Hijau melalui kuasa hukumnya, Michael A. Wirasasmita, S.H., M.H.,dan I Kadek
Agus Widiastika Adiputra, S.H., M.H., menegaskan bahwa perusahaan sama
sekali tidak bermaksud menghalangi pembangunan tempat ibadah, termasuk
Pura Belong Batu Nunggul.
Langkah yang ditempuh perusahaan, disebut justru untuk mencegah penyalahgunaan
dana hibah pemerintah sebesar Rp500 juta yang dapat berujung pada
persoalan hukum.
“Kami tidak pernah berniat menghalangi pembangunan pura, apalagi tempat
ibadah. Kami hanya ingin memastikan agar penggunaan dana hibah sesuai ketentuan dan tidak salah sasaran,” kata Michael.
Sementara itu, Ketua Pansus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (TRAP) DPRD Bali, I Made Supartha menegaskan pihaknya akan segera menindaklanjuti aspirasi warga dengan memanggil pihak PT Jimbaran Hijau dan BPN Provinsi Bali untuk memberikan klarifikasi resmi.
“Minggu depan kami akan jadwalkan Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami ingin semua pihak duduk bersama agar masalahnya jelas. DPRD juga akan turun ke lapangan untuk mengecek langsung kondisi di sana,” kata Made Supartha yang juga Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali.
Selain menyoroti masalah akses pura, Pansus DPRD Bali juga akan mendalami aspek legalitas penggunaan dana hibah Pemerintah yang disebut turut digunakan untuk pembangunan di lahan yang masih bersengketa.
“Kita pastikan dulu apakah izin dan legalitas hibahnya sesuai. Kalau tidak, tentu akan kami rekomendasikan untuk dievaluasi,” tegasnya lagi.
Tak hanya itu, Made Supartha juga berkeinginan memastikan bahwa tanah adat yang memiliki fungsi keagamaan dan sosial tidak digunakan untuk kepentingan komersial yang menyalahi aturan.
Bahkan, Made Supartha menilai keberadaan pura sebagai tempat ibadah umat Hindu harus dijaga dan tidak boleh dibatasi aksesnya.
“Itu khan tidak boleh dilarang-larang. Pelarangan itu sangat tidak etis dan tidak elok. Orang Bali tidak boleh jadi tamu di rumahnya sendiri. Kalau pura sudah ada sejak zaman leluhur, jangan dihalang-halangi. Kita ingin masalah ini selesai dengan musyawarah, tapi juga sesuai aturan hukum,” kata Made Supartha, yang juga Anggota Komisi I DPRD Bali.
Diakhir acara, DPRD Bali melalui Tim Pansus TRAP DPRD Bali dan Komisi I DPRD Bali menerima berkas-berkas yang diberikan Desa Adat Jimbaran dengan PT Bali Paradise dari perwakilan Made Sumantera almarhum. ( Red)



