Garuda Merugi, Apa Langkah Selanjutnya untuk Keberlanjutan?
Dari Kejayaan Hingga Kerugian, Apa yang Harus Dilakukan Garuda untuk Bertahan?

jarrakposbali.com, DENPASAR – Garuda Indonesia, maskapai penerbangan kebanggaan negara, kembali menghadapi tantangan besar dengan mencatatkan kerugian yang signifikan. Di tengah upaya untuk memperbaiki kinerja dan menjaga keberlanjutannya, publik mulai bertanya-tanya, apakah sudah saatnya untuk merestrukturisasi, atau malah menutupnya? Sebagai BUMN, Garuda bukan hanya milik perusahaan, tetapi juga milik rakyat Indonesia. Bagaimana seharusnya pemerintah dan manajemen Garuda menghadapi situasi ini?
Menurut I Dewa Gede Wisnu Arimbawa, seorang praktisi pariwisata Bali, perbandingan antara Garuda dan maskapai internasional seperti Air New Zealand menunjukkan adanya kesenjangan yang besar dalam hal manajemen. “Di Auckland pada tahun 1995, saya mengamati bagaimana seorang Managing Director Air New Zealand datang tanpa embel-embel kemewahan. Sementara itu, di Garuda, barisan penjemputan dan fasilitas bisnis kelas selalu dipersiapkan untuk eksekutif yang datang,” ungkapnya. Kamis (2/10/2025).
“Air New Zealand meraup laba berkat efisiensi, sementara Garuda justru kembali merugi meski memiliki loyalitas pelanggan yang tinggi dan pasar potensial yang besar,” lanjut I Dewa Gede Wisnu Arimbawa.
Air New Zealand, lanjut Wisnu, mampu bertahan dan mencatatkan laba karena kebijakan efisiensi yang mereka terapkan sejak tahun 1996, di tengah pelambatan ekonomi dunia. Program Project Save yang mengurangi biaya operasional tanpa mengurangi kualitas pelayanan menjadi salah satu kunci keberhasilan mereka. Garuda, di sisi lain, tampaknya belum menerapkan langkah serupa. Bahkan, meski memiliki market share besar di Indonesia, perusahaan ini terus mengalami kerugian.
“Dari sisi layanan, Garuda memang unggul, namun masalah efisiensi operasional tampaknya belum menjadi perhatian utama,” jelas Wisnu.
Sementara itu, dalam pandangan netizen, banyak yang berpendapat bahwa Garuda perlu melakukan langkah-langkah drastis untuk menghindari kerugian lebih lanjut. Ada yang berpendapat bahwa pengurangan gaji eksekutif dan pemangkasan biaya operasional bisa menjadi solusi. Namun, ada juga yang mempertanyakan kebijakan harga tiket yang tetap tinggi meskipun pesawat tidak terisi penuh, sehingga beban biaya operasional tidak dapat tertutupi.
“Garuda harus menurunkan harga tiket, jangan hanya mengandalkan loyalitas pelanggan, karena pada akhirnya, harga yang terlalu tinggi justru merugikan,” ujar salah satu netizen di Twitter.
Namun, dengan status Garuda sebagai BUMN, pertanyaan yang lebih besar muncul, apakah Garuda akan terus dipertahankan dengan suntikan dana negara? Beberapa tahun lalu, Garuda sempat terancam bangkrut dan harus diselamatkan dengan dana triliunan rupiah. Kini, kerugian kembali terjadi, dan suntikan dana baru mungkin diperlukan. Namun, apakah langkah ini bijaksana, mengingat dana tersebut berasal dari pajak yang dibayar oleh rakyat?
“Apakah lebih bijak untuk terus memberi suntikan dana segar ataukah kita harus mempertimbangkan untuk menutupnya demi kepentingan yang lebih besar, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur?” tanya Wisnu.
Di tengah perdebatan yang terus berkembang, Garuda Indonesia harus segera mengambil langkah nyata untuk bertahan hidup. Efisiensi operasional, restrukturisasi manajemen, dan evaluasi harga tiket adalah langkah-langkah yang perlu dipertimbangkan untuk memastikan kelangsungan maskapai ini. Garuda bukan hanya simbol kebanggaan bangsa, tetapi juga bagian dari ekonomi negara. Kini saatnya bagi pemerintah dan manajemen Garuda untuk lebih bijak dalam mengambil keputusan demi masa depan yang lebih baik.(JpBali).