Rakyat dan Pemerintah Daerah harus menyamakan persepsi, karena itu akan menjadi kata kunci suksesnya perjuangan menghadirkan pembaharuan Undang Undang Provinsi Bali yang punya keberpihakan terhadap pelestarian budaya,dan khususnya pelestarian adat.
Untuk itu rakyat dan Pemerintah Daerah harus bersama sama membangun kesadaran baru.
Kesadaran untuk memahami bahwa sejatinya secara politis keberhasilan dari pelestarian adat & budaya di Bali , hanyalah persoalan bagaimana menghadirkan kemauan politik Pemerintah.
Untuk bisa melihat lebih obyektif dampak dari eksploitasi budaya yang terjadi.
Apa betul ini hanya persoalan kemauan politik Pemerintah?
Pertumbuhan ekonomi Bali yang tiada lain dan tiada bukan bertumpu pada eksploitasi sumber daya adat & budaya, sebagaimana layaknya daerah lain dengan eksploitasi sumber daya mineral atau energinya.
Ternyata menyisakan begitu banyak “limbah beracun”
“Limbah beracun” yang merupakan akses dari eksploitasi adat & budaya Bali dengan ekonomi pariwisatanya, telah dirasakan memiliki daya rusak terhadap tatanan kehidupan di Bali selama puluhan tahun.
Seperti rusaknya alam dan lingkungan, sex bebas,narkoba,premanisme,AID,kemiskinan dan lain sebagainya.
Begitu fatalnya kerusakan yang ditimbulkan,seyogyanya kebijakan “recoveri” mengatasi “limbah beracun” itu harus dijadikan prioritas utama didalam ber”negosiasi” untuk membuat “kesepakatan” didalam pembaharuan undang undang provinsi Bali, khususnya yang terkait dengan pelestarian budaya.
Bila angin perubahan dengan pengaturan dan tatakelola baru yang lebih serius didalam mengatasi ‘limbah beracun” itu tidak segera dihadirkan,atau dengan kata lain Pemerintah Daerah Provinsi Bali bersikeras mempertahankan “status quo” nya , maka “tenggelam”nya Bali dengan keunikan budayanya tidak dapat dihindari.
“Menurut Sukarno, Kemerdekaan itu hanya jembatan, tetapi di seberang sana ada dua jalan: satu ke dunia keselamatan marhaen, .
Atau istilah beliau: satu jalan menuju dunia kesejahteraan dengan sama rata-sama rasa, satunya lagi menuju ke dunia kesengsaraan dengan sama ratap-sama tangis.”
Mau kemana Bali dengan “jembatan emasnya ?
Guna menjawab sekaligus mengatasi proses “dahsyat” keterpinggiran rakyat & adat yang terjadi selama ini.
Yang bahkan telah membuat lampu “emergensi” Bali telah menyala.
Ungkapan “emergensi” itu tidak berlebihan , karena ada bukti empiris, dimana begitu banyak warga adat yang jatuh miskin dan terpaksa harus “terpental” keluar Bali melalui transmigrasi.
Disamping yang mendesak sekali, adanya bukti empiris tergerusnya adat yang membuat orang Bali “limbung” kehilangan jati dirinya.
Untuk itu dalam bernegosiasi membuat “kesepakatan” baru , Pemerintah Daerah jangan sekali kali melakukannya secara Asal-asalan atau asal jadi saja.
Seperti halnya rancangan pembaharuan Undang Undang Propinsi Bali yang sedang dipersiapkan saat ini oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali, yang telah beredar di media sosial.
Jika rancangan itu dibaca dengan seksama , hasilnya sangat jauh dari harapan untuk Bali bisa menghadirkan sistim “monokrasi” pemerintahan desa adat dengan ekonomi kerakyatannya, yang berbasis pada adat dan lingkungan.
Disamping “monokrasi” Pemerintahan Desa Adat itu akan bertugas mengawal pelestarian budaya Bali agar sesuai dengan semangat Tri hita karana.
Peliknya persoalan yang dihadapi,maka memilih pemimpin yang “paham” akan kondisi Bali adalah sebuah keniscayaan.
Untuk itu momentum Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Bali yang ada didepan mata jangan disia siakan.
Momentum itu harus dimanfaatkan bila perlu dengan menjadikan rancangan pembaharuan Undang Undang Provinsi Bali itu sebagai bahan “sayembara” didalam ajang kontestasi pemilihan Gubernur Bali nanti.
Para calon Gubernur tidak perlu sibuk dengan pencitraan atau retorika, baik dengan bantuan sosial maupun money politiknya.
Tapi cukup melalui langkah kongkrit dengan mengkompetisikan visi misinya melalui uji kompetensi dengan menyampaikan rancangan norma yang akan termaksud didalam Pembaharuan Undang Undang Provinsi Bali yang akan memayungi secara hukum, upaya menyelamatkan budaya Bali, dengan menyelamatkan rakyat , adat , agama , lingkungan & alamnya , bila nantinya terpilih sebagai Gubernur Bali.
Rakyat tidak perduli dengan “warna” atau “bungkus” dari “kesepakatan” itu,apakah mau dibungkus dengan Otonomi Khusus,Daerah Khusus Pariwisata,Daerah Istimewa dan lain sebagainya.
Seperti kata iklan,” yang penting rasanya bung”
Bila hasil pembaharuan Undang Undang Provinsi Bali nantinya hanya menjadi formalitas belaka,tanpa mampu mengangkat “harkat & martabat” Bali ,maka akan menjadi dosa sejarah bagi kekuasaan di Bali, yang akan tercatat dan selalu diingat serta dikenang seiring dengan penderitaan rakyat.
Hasil pembaharuan Undang Undang Propinsi Bali,diharapkan merupakan “kesepakatan” baru antara Bali dan Jakarta.
Yang akan menjadi lembaran baru dengan harapan baru bagi rakyat Bali untuk menjadi “tuan dinegeri” nya.
SELESAI