BeritaPariwisataSeni BudayaSosialwisata

Bali, Antara Keindahan Pariwisata dan Tantangan Pelestarian Budaya

Menguak Fenomena Peluang Ekonomi di Bali,  Spekulasi atau Kesadaran terhadap Warisan Budaya?

BALI, jarrakposbali.com I Bali, destinasi dunia yang selalu menggoda hati para pelancong, tak hanya dikenal dengan keindahan alamnya, tetapi juga sebagai pusat perputaran ekonomi pariwisata yang menjanjikan. Pulau Dewata ini seakan menjadi magnet bagi mereka yang mencari peluang untuk memperbaiki hidup, dengan harapan menemukan keberuntungan melalui sektor pariwisata.

Namun, di balik pesona Bali, ada sisi lain yang sering kali terlupakan. Banyak orang datang dengan harapan besar, mengandalkan keterampilan bahasa Inggris atau keahlian lainnya untuk meraih kesuksesan.

Sementara sebagian dari mereka mungkin berhasil menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar, tak sedikit pula yang terjebak dalam spekulasi mencari rezeki tanpa menyadari bahwa Bali bukan hanya tentang pariwisata, tetapi juga merupakan tempat yang kaya akan budaya dan tradisi.

Pertanyaannya, sejauh mana mereka memahami nilai sesungguhnya dari Bali sebagai destinasi budaya? Apakah mereka datang hanya untuk mencari keuntungan semata, ataukah mereka juga turut menjaga dan menghormati keberagaman yang menjadi kekayaan pulau ini?

Menurut Ketua ASITA DPD Bali, Putu Winastra, ASITA Bali terus berupaya untuk mendorong pengembangan produk wisata di Bali. Hal ini tidak hanya terbatas pada destinasi wisata, tetapi juga mencakup sektor transportasi dan perhotelan yang ada di pulau ini. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa semua aspek yang mendukung pariwisata Bali dapat berkembang secara seimbang dan saling mendukung.

Putu Winastra menegaskan bahwa Bali harus menjadi destinasi pariwisata yang berkualitas. Untuk mencapainya, produk pariwisata itu sendiri harus memenuhi standar kualitas.

“Tidak hanya sekadar wacana, kita perlu memastikan bahwa setiap produk wisata memiliki kualitas yang terukur dan terstandarisasi,” ujar Winastra. Sabtu (14/12/2024).

Standarisasi ini, penting untuk menentukan rating produk wisata, mulai dari Bintang 1 hingga Bintang 5, yang dapat menjadi acuan bagi wisatawan dan pengusaha pariwisata.

Dirinya juga menjelaskan bahwa yang berhak melakukan standarisasi produk wisata adalah pemegang kebijakan, yaitu pemerintah yang menunjuk institusi tertentu untuk memberikan rating atau sertifikasi.

“Sertifikasi ini seharusnya tidak berbayar, agar tidak disalahgunakan untuk keuntungan pribadi,” tegas Winastra. Harapannya, proses standarisasi ini dapat meningkatkan kesadaran pengelola destinasi wisata untuk lebih memperhatikan kualitas dan pengelolaan sesuai dengan bidangnya.

Ia juga  menekankan bahwa semua produk wisata di Bali harus disertifikasi.

“Dengan sertifikasi, setiap orang yang bekerja di bidang pariwisata akan memiliki standar yang jelas,” lanjutnya.

“Saat ini, tanpa standar yang jelas, banyak pekerja di sektor ini yang tidak profesional, seperti sopir yang mengenakan celana pendek dan sandal jepit, atau pemandu wisata yang tidak memiliki lisensi,”tuturnya.

Di akhir pembicaraanya Putu Winastra menambahkan bahwa untuk menjaga kualitas pariwisata Bali sebagai destinasi wisata budaya, setiap pekerja di sektor ini harus memiliki sertifikasi yang sesuai.

“Kami di ASITA Bali terus mendorong pemerintah untuk segera mewujudkan ini,”pungkasnya.

Menurutnya, penerapan sertifikasi adalah langkah penting untuk memastikan pariwisata Bali tumbuh secara berkelanjutan, dengan tetap menghormati nilai-nilai budaya yang ada. Dengan adanya standar yang jelas, Bali diharapkan dapat menjaga reputasinya sebagai destinasi wisata unggulan yang tidak hanya mengutamakan profit, tetapi juga pelestarian budaya dan kualitas layanan.(jpbali).

Editor : Putu Gede Sudiatmika.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button