Klungkung

Pinjam Uang 2 Juta, Tanah Waris Wayan Sangging 6 Hektar Raib

Tanah Warisan Raib Diduga Diperjualbelikan dengan Cara Ilegal

jarrakposbali.com,KLUNGKUNG – Nasib malang menimpa I Wayan Sangging, warga Nusa Penida, Klungkung. Setelah ayahnya, Ketut Layar alias Pan Sangging, meninggal pada 1948, Wayan ikut program transmigrasi ke Lampung dan menitipkan tanah warisannya seluas 6,65 hektar di kawasan Kelingking Beach kepada kerabatnya. Tanah yang sangat berharga ini kini hilang, diduga dijual sepihak dengan menggunakan dokumen palsu, menambah derita bagi sang pemilik sah.

Sebelum merantau ke Lampung, Wayan Sangging meminjam uang Rp 2 juta dan menitipkan kitir PBB tanah kepada Dewa Ketut Sudana, Kepala Sedahan saat itu. Wayan juga meminta bantuan Dewa Ketut Sudana untuk mencari pembeli tanah dengan kesepakatan komisi jika terjual. Dewa Ketut Sudana kemudian meminta Wayan menandatangani selembar kertas. Karena tidak bisa membaca, menulis, dan menandatangani, Wayan hanya membubuhkan cap jempol, yang diklaim Dewa Ketut Sudana sebagai catatan pinjaman. Namun, kejadian ini berujung pada dugaan penjualan tanah tanpa sepengetahuan Wayan.

Karena sudah lama mengenal dan mempercayai Dewa Ketut Sudana, Wayan Sangging tanpa ragu menurunkan cap jempol, meski ia tidak bisa membaca atau menulis. Ia percaya bahwa Dewa Ketut Sudana tidak akan berbohong. Namun, Wayan terkejut ketika mengetahui bahwa tanah warisannya telah disertifikatkan dan dijual tanpa izinnya. Lebih mengejutkan lagi, pada 12 Desember 1995, tanah tersebut sudah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 139 atas nama “I Sangging”, yang bukan nama lengkapnya.

Nyoman Samuel Kurniawan, S.E., S.H., M.H., C.L.A., kuasa hukum Wayan Sangging, mengungkap fakta mengejutkan usai sidang di Pengadilan Negeri Klungkung, Senin, 17 Maret 2025. Dalam pemeriksaan saksi dan bukti tambahan, terungkap bahwa sebagian tanah milik Wayan Sangging, yang sebelumnya diklaim hilang, ternyata dikuasai oleh tergugat. Tanah yang kini menjadi objek sengketa awalnya milik ayah Wayan Sangging, Ketut Layar alias Pan Sangging.

Samuel menyoroti Akta Jual Beli (AJB) Nomor 75/NP/1995, yang diterbitkan sebelum sertifikat tanah terbit, sebagai indikasi adanya rekayasa hukum dalam transaksi tersebut. Tanah itu kemudian berpindah tangan melalui AJB Nomor 177/2021.

Samuel juga menyoroti keberadaan saksi dari pihak tergugat yang dinilai tidak netral.

“Tergugat justru menghadirkan anak buahnya sebagai saksi, yang objektivitasnya diragukan. Jelas ini saksi yang tidak boleh memberikan kesaksian di persidangan, karena tidak mungkin dia akan merugikan bosnya sendiri,” tegas Samuel.

Samuel  menegaskan bahwa fakta ini semakin diperkuat dengan kesaksian yang menunjukkan bahwa saksi tersebut turut menjaga tanah yang menjadi objek sengketa. ‘

“Kami buktikan dengan sejumlah saksi bahwa dia sendiri yang menjaga tanah itu. Sangat lucu jika dia diminta bersaksi, karena jelas hanya memberikan keterangan yang menguntungkan bosnya. Subjektivitasnya terlihat jelas dalam setiap keterangannya,” jelas Samuel.

Samuel  mengungkapkan bahwa kliennya tidak pernah menjual tanah kepada Dewa Ketut Sudana, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Sedahan di Kecamatan Nusa Penida. Ia bahkan menduga adanya praktik jual beli fiktif.

“Pak Sugianto adalah investor yang membeli tanah klien kami melalui pemilik yang tidak sah, karena Pak Dewa Ketut Sudana melakukan jual beli fiktif. Klien kami tidak pernah menjual tanah itu kepada Dewa Ketut Sudana,,” terang Samuel.

Samuel  menuding adanya pemalsuan dokumen dengan penggunaan cap jempol yang bukan milik kliennya. Ia menyebutkan terdapat banyak cap jempol yang dibubuhkan dalam dokumen yang dibawa oleh pihak tergugat dua, yaitu kantor pertanahan Klungkung.

“Sebagian besar dikonfirmasi oleh klien kami, itu jelas bukan cap jempol yang bersangkutan. Bukan cap jempol klien kami,” kata Samuel.

Samuel  memastikan pihaknya akan mengambil langkah hukum terkait dugaan pemalsuan dokumen.

“Kami akan melaporkan adanya bukti palsu, pembuatan bukti palsu, dan penggunaan bukti palsu tersebut,” jelasnya .

Samuel juga menjelaskan bahwa kliennya, yang awalnya hanya meminjam uang Rp 2 juta, kini kehilangan tanah seluas 6,6 hektare di Karang Dawa, dekat Kelingking Beach. Ia menuding kejanggalan dalam dokumen-dokumen tergugat, termasuk cap jempol yang diduga bukan milik kliennya.

Samuel mengungkapkan adanya kejanggalan hukum dalam sertifikat tanah yang menjadi objek sengketa. Sertifikat tersebut awalnya diterbitkan atas nama ayah penggugat yang telah meninggal puluhan tahun sebelumnya, lalu dialihkan dari Dewa Ketut Sudana ke Sugianto.

“Pemohon penerbitan sertifikat bukanlah pihak yang seharusnya, melainkan tergugat satu. Ini menunjukkan adanya penyimpangan data dalam administrasi pertanahan, semakin memperkuat dugaan cacat hukum,’ jelas Samuel.

Samuel menyoroti berbagai kesalahan dalam akta jual beli yang diajukan oleh tergugat. Ia mengungkapkan bahwa identitas penjual tidak dicantumkan dengan jelas, tanpa nomor induk KTP dan tanggal lahir yang valid.

Selain itu, terdapat kesalahan nama, yaitu ‘I Sangging’ yang seharusnya ‘I Wayan Sangging’. Kejanggalan semakin mencolok ketika dalam akta tersebut, penjual disebut bertindak atas nama ayahnya yang telah lama meninggal.

“Itu mustahil secara hukum, karena seseorang yang sudah wafat tidak dapat memberikan kuasa dalam transaksi jual beli,” beber Samuel.

Samuel  memastikan akan berkoordinasi dengan Polda Bali terkait dugaan pembuatan dan penggunaan bukti palsu dalam persidangan ini. Proses penyelidikan akan melibatkan laboratorium forensik untuk memverifikasi keabsahan dokumen yang dipermasalahkan.

Samuel juga mengungkapkan bahwa camat yang membuat akta jual beli dan seorang notaris di Klungkung turut disertakan sebagai tergugat, namun keduanya tidak pernah hadir dalam persidangan. Dalam persidangan, nama I Wayan Soka atau Gurun Suka sering disebut oleh tergugat sebagai saksi, namun Samuel menyatakan bahwa saksi tersebut justru tidak mengetahui adanya transaksi jual beli.

Samuel mengungkapkan bahwa Gurun Suka sempat meninggalkan lokasi karena merasa tersinggung setelah mengantar Wayan Sangging, kemungkinan karena tidak diberikan upah.

“Mungkin karena tidak dikasih upah, lalu ditinggal,” tambah Samuel.

Ia menegaskan bahwa kliennya hanya ingin mendapatkan kembali hak atas tanahnya.

“Klien kami menolak ganti rugi karena sulit menilai kerugian, hanya menginginkan keadilan untuk memperoleh tanah itu kembali,’ pungkas Samuel.

Dengan agenda pemeriksaan saksi dan bukti tambahan yang telah selesai, persidangan kini memasuki tahap kesimpulan sebelum hakim menjatuhkan putusan.(jpbali).

Editor : Putu Gede Sudiatmika.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button