SINGARAJA, jarrakposbali.com – Lantaran langkanya pemain rebab atau pengrebab di Kabupaten Buleleng, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Buleleng menggelar Workshop Pembelajaran Rebab Bali.
Pelatihan ini berlangsung selama tiga hari sejak tanggal 9-11 November 2023 di Wantilan Sasana Budaya, yang diikuti 25 orang seniman dari sanggar maupun sekaa se-Kabupaten Buleleng, dengan pelatihan langsung dari Prof. Dr. Pande Made Sukerta yang merupakan dosen ISI Surakarta.
Sukerta mengatakan, digelarnya workshop (lokakarya) ini sebagai bentuk kepedulian akan pelestarian alat musik tradisional yang dimainkan dengan cara digesek. Ia menuturkan, rebab ini dulu dimainkan dalam penghargaan arja, yang dimainkan seperti semar pegulingan, namun sekarang sudah tidak ada.
Apalagi berdasarkan pengalamannya, dulu di Buleleng pada tahun 1979 hanya ada satu orang pengrebab asal Desa Mayong yang kini telah meninggal dunia. Pengrebab tersebut merupakan salah satu dari enam orang pengrebab yang tersebar di Bali.
“Dulu tahun 1920-an rebab digunakan untuk penghargaan arja, tapi sekarang ini makin merosot peminatnya. Ditambah waktu itu pembuatnya juga kurang, belinya sulit juga. Itu menjadi salah satu penyebab peminatnya berkurang,” ujar Sukerta usai pembukaan workshop pada Kamis, 9 November 2023.
Ia mengatakan bahwa di Buleleng juga sudah ada pengembangan rebab beberapa kali. Dosen asal Tejakula, Buleleng ini berharap dengan adanya lokakarya ini tidak hanya membuat peminat rebab hanya sekedar memainkannya, tetapi bisa meningkatkan kualitas supaya dapat menularkan ilmunya ke orang lain.
Meskipun kesenian di Buleleng terkenal dengan instrumen keras dan dinamis, tetapi Sukerta yakin para seniman Buleleng bisa bermain rebab dengan kelembutan. Harapan besar pun ditaruhnya kepada Pemerintah Kabupaten Buleleng agar dapat membentuk komunitas rebab Buleleng, untuk mewadahi pengrebab yang ada di Bali utara.
“Memang rebab itu memainkannya agak sedikit lain, memerlukan ketenangan hati dan perasaan,” jelasnya.
“Di Bali ada gong suling, kenapa tidak ada gong rebab? Ini menjadi tantangan untuk mewujudkannya,” tambahnya lagi.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng, I Nyoman Wisandika; tak menampik kelangkaan pemain rebab di Buleleng. Lantaran peminatnya yang disebutkan hanya di kalangan orang tua atau lingsir.
Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi pengrebab di Bali selatan yang sudah berkembang banyak peminatnya. Ini pun menjadi motivasi agar Buleleng juga memiliki sumber daya manusia yang memainkan alat tradisional berbentuk seperti biola.
“Memang pemain rebab di Buleleng sangat langka, sedikit. Biasanya peminat rebab pemain tua dan lingsir, jadi kalau orang muda jarang. Tentu ini momen bagus agar pemain rebab Bali di Buleleng semakin banyak,” kata Wisandika. (fJr/JP)