Denpasar

Komisi I DPRD Bali Terima Audiensi Krama Desa Adat  Kepet Jimbaran

Pertanyakan Status Tanah 280 Hektar yang Terlantar

DENPASAR, Jarrakposbali.com I Komisi I DPRD Provinsi Bali menerima audiensi dari perwakilan Krama Desa Adat Kepet  Jimbaran terkait permasalahan tanah seluas 280 hektar yang dikuasai oleh sebuah perusahaan namun dibiarkan terlantar selama 30 tahun. Pertemuan yang berlangsung di Wantilan DPRD Bali pada Senin (3/1/2025) ini dihadiri oleh Ketua Komisi I DPRD Bali, I Nyoman Budi Utama, bersama anggota dewan lainnya.

Ketua Komisi I DPRD Bali, I Nyoman Budi Utama, menyampaikan bahwa audiensi ini dihadiri oleh lima perwakilan subak yang mempertanyakan status lahan seluas 280 hektar yang telah dikuasai perusahaan selama 30 tahun namun tidak dimanfaatkan.

“Lahan ini seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat adat, tetapi hingga kini statusnya masih tidak jelas. Kami akan menindaklanjuti dan meminta klarifikasi dari pihak terkait,” ujar Budi Utama.

Lahan warisan leluhur yang telah terpendam selama 30 tahun akhirnya menjadi sorotan. Sebanyak 130 warga Desa Adat Jimbaran menggugat kepemilikan tanah mereka yang kini dikuasai sejumlah perusahaan, namun dibiarkan terbengkalai. Dengan penuh tekad, mereka yang tergabung dalam Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat Jimbaran) mengajukan gugatan hukum dan menyampaikan aspirasi ke DPRD Bali.

“Ini bukan sekadar tanah, ini warisan leluhur kami. Kami menuntut keadilan dan hak kami yang telah dirampas,”tegas I Wayan Bulat, perwakilan penggugat.

I Wayan Bulat, perwakilan Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat Jimbaran), menegaskan adanya penyalahgunaan keputusan pejabat negara, yang menyatakan lahan itu akan digunakan untuk kegiatan multilateral pada 2013. Namun hingga kini, pembangunan yang dijanjikan tak pernah terwujud.

“Ini jelas penyalahgunaan wewenang. Lahan ini dijanjikan untuk kepentingan besar, tapi kenyataannya tetap dibiarkan terbengkalai,”tegasnya.

Dimana, perpanjangan SHGB atas lahan 280 hektar di Jimbaran diduga dipaksakan, meski sebelumnya telah ada Surat Penetapan Indikasi Tanah Terlantar dari BPN. Seharusnya, tanah itu dikembalikan kepada pemilik hak lama, bukan justru diperpanjang untuk kepentingan pihak lain.

Tak tinggal diam, warga Desa Adat Jimbaran yang tergabung dalam Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat Jimbaran) kini menempuh jalur hukum, baik perdata maupun pidana. Dengan didampingi advokat dari Kantor Hukum BKO, mereka resmi menggugat sejumlah perusahaan melalui Pengadilan Negeri Denpasar pada Senin, 3 Februari 2025.

“Kami akan terus memperjuangkan hak masyarakat, baik melalui jalur perdata maupun pidana. Tanah ini milik warga, bukan untuk diperpanjang secara sewenang-wenang,” jelasnya.

Tim kuasa hukum Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat Jimbaran) resmi membawa sengketa lahan ini ke ranah hukum. Dipimpin oleh Koordinator Kuasa Hukum, I Nyoman Wirama, S.H., bersama tim yang terdiri dari I Wayan Adi Aryanta, S.E., S.H., M.H., I Ketut Sukardiyasa, S.H., Dr. I Wayan Majuarsa, S.H., S.Sos., M.M., dan I Made Widiasa, S.H., mereka memastikan bahwa perjuangan masyarakat akan mendapat kepastian hukum.

Sidang perdana kasus ini telah resmi digelar berdasarkan Nomor Perkara 142/Pdt.G/2025/PN Dps, menjadi langkah awal dalam memperjuangkan hak atas tanah adat yang telah lama dipertaruhkan.

Perjuangan Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat Jimbaran) mewakili lima kelompok masyarakat Desa Adat Jimbaran yang terdampak sengketa lahan. Kelompok tersebut terdiri dari Penyakap, warga yang memiliki surat pengelaga dari Desa Adat Jimbaran; Waris Penyakap, ahli waris penyakap tanah ayahan; Pemilik Lama, masyarakat yang memiliki hak lama atas tanah sengketa; Krama Desa Adat, anggota Desa Adat Jimbaran dan sekitarnya yang berkepentingan; serta Krama Subak, petani tradisional yang tergabung dalam Subak Abian di lokasi sengketa.

“Subak Abian adalah bagian dari masyarakat hukum adat di Bali yang diakui dan dilindungi oleh konstitusi. Hak-hak mereka harus dihormati,”jelasnya.

Dalam gugatan ini, lima perwakilan kelompok dari Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat Jimbaran) resmi menggugat sejumlah perusahaan yang diduga menguasai lahan secara melawan hukum. PT Jimbaran Hijau, yang berkedudukan di Perkantoran Griya Jimbaran Hub, Jimbaran, ditetapkan sebagai Tergugat I, sementara PT Citratama Selaras, yang berlokasi di Jalan Hayam Wuruk, Denpasar, ditetapkan sebagai Tergugat II.

“Gugatan ini adalah bentuk perjuangan masyarakat untuk mendapatkan kembali hak atas tanah mereka yang telah dikuasai tanpa kejelasan hukum,” tegasnya.

Tak hanya dua perusahaan, gugatan Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat Jimbaran) juga menyasar instansi pemerintah dan perusahaan lainnya. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bali yang berlokasi di Renon, Denpasar, ditetapkan sebagai Tergugat III.

Selain itu, PT Baruna Realty (Greenwoods Group) yang berbasis di Jakarta Selatan masuk sebagai Tergugat IV, sementara Kantor Pertanahan Kabupaten Badung, yang berlokasi di Seminyak, ditetapkan sebagai Turut Tergugat.

“Kami menggugat tidak hanya perusahaan, tetapi juga instansi yang bertanggung jawab atas pengelolaan lahan ini. Semua pihak yang terlibat harus bertanggung jawab,”bebernya.

Gugatan Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat Jimbaran) berakar dari peristiwa tahun 1994, ketika pemerintah membebaskan lahan dengan dalih kepentingan umum. Namun, prosesnya dilakukan secara represif, dengan kekerasan, dan melibatkan aparatur negara.

Ironisnya, lahan yang seharusnya digunakan untuk kepentingan umum justru dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis pribadi. Lebih mencengangkan lagi, tanah milik warga yang dibebaskan malah diterbitkan sejumlah Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), di antaranya SHGB 370, 371, 372, 188, 190, 192, 193, 189, 1069, 386, 4138, dan 4137/Jimbaran.

“Pembebasan lahan ini penuh kejanggalan! Awalnya disebut untuk kepentingan umum, tapi kenyataannya justru menjadi lahan bisnis pribadi. Ini bentuk ketidakadilan yang harus dilawan,” beber Nyoman Wirama.

Selain SHGB yang telah teridentifikasi, diduga masih ada SHGB lain yang diterbitkan, namun belum berhasil ditelusuri oleh penggugat. Hal ini karena kemungkinan besar SHGB tersebut telah mengalami pecahan atau turunan.

Diketahui bahwa Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) tersebut diterbitkan atas nama PT Citratama Selaras, yang kini ditetapkan sebagai Tergugat II dalam gugatan ini.

“Kami menduga masih ada banyak SHGB lain yang belum terungkap. Ini harus diusut tuntas agar hak masyarakat atas tanah adat tidak semakin tergerus,”imbuhnya.

Penerbitan SHGB tersebut diduga melibatkan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali (Tergugat III), yang menyetujui penerbitan SHGB berdasarkan pelepasan hak dari Desa Adat dan Kelurahan.

Padahal, para penggugat telah menguasai lahan itu secara turun-temurun dengan itikad baik selama puluhan tahun, sehingga seharusnya tanah tersebut menjadi hak mereka, bukan hak Desa Adat maupun Kelurahan.

Lebih lanjut, setelah SHGB diterbitkan, Tergugat II (PT Citratama Selaras) mengalihkan penguasaan yuridis lahan tersebut kepada Tergugat I (PT Jimbaran Hijau).

“Lahan ini telah dikuasai warga secara turun-temurun, tapi justru dialihkan tanpa hak yang jelas. Ini bentuk ketidakadilan yang harus diperjuangkan,”tuturnya.

Berdasarkan SHGB dengan total luas 280 hektar, lahan ini diperpanjang menggunakan Surat Keputusan Presiden dan SK Menteri Pariwisata untuk kepentingan KTT APEC 2013. Namun, sebelum perpanjangan itu, BPN telah menetapkan sebagian besar lahan sebagai tanah terlantar.

Ironisnya, meski SHGB diperpanjang untuk sarana-prasarana KTT APEC, hingga kini sebagian besar lahan tersebut masih kosong dan tidak digunakan sebagaimana mestinya. Bahkan, PT Jimbaran Hijau (Tergugat I) justru bekerja sama dengan PT Baruna Realty (Tergugat IV) untuk pengelolaan dan penjualan perumahan, semakin memperkuat dugaan bahwa perpanjangan SHGB hanya kedok untuk kepentingan bisnis.

Di sisi lain, meski secara yuridis lahan dikuasai oleh Tergugat I dan II, secara fisik para penggugat tetap mempertahankan haknya, meski sering mengalami pengusiran paksa dan tindakan kekerasan.

Lebih jauh, praktik ini masuk dalam kategori perbuatan melanggar hukum, terutama dalam konteks penggusuran paksa yang melanggar hak asasi manusia, sebagaimana ditegaskan dalam General Comment Nomor 7 on the Right to Adequate Housing dan Pasal 11 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 1966, yang telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.

“Tanah ini seharusnya digunakan untuk kepentingan umum, bukan dibiarkan kosong atau malah diperjualbelikan! Ini bentuk pelanggaran hukum yang harus dihentikan,”imbuhnya.

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (UU 11/2005) menegaskan bahwa setiap orang berhak atas standar kehidupan yang layak, termasuk pangan, sandang, dan perumahan, serta perbaikan kondisi hidup yang berkelanjutan.

Sebagai negara pihak, Indonesia berkewajiban mengambil langkah-langkah konkret untuk menjamin pemenuhan hak ini, termasuk melalui kerja sama internasional yang berbasis pada kesepakatan sukarela.

“Setiap warga berhak atas kehidupan yang layak, termasuk hak atas tanah dan tempat tinggal yang aman. Negara harus menjamin hak ini, bukan justru mengabaikannya,”lanjutnya.

Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, memiliki tempat tinggal yang layak, serta mendapatkan lingkungan yang sehat dan pelayanan kesehatan.

Jika melihat uraian ini secara komprehensif, penggusuran paksa dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Bahkan, Commission on Human Rights Resolution 1993/77 menyebut penggusuran paksa sebagai “gross violation of human rights” atau pelanggaran HAM berat.

“Penggusuran paksa bukan hanya ketidakadilan, tetapi juga pelanggaran HAM berat yang tidak bisa dibiarkan,”tuturnya.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menegaskan bahwa pengadaan tanah harus dilakukan dengan ganti rugi yang layak dan adil bagi pihak yang berhak. Ganti rugi tersebut dapat berupa uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disepakati bersama.

Namun, dalam kasus ini, pembebasan lahan yang awalnya diklaim untuk kepentingan umum justru berubah menjadi kepentingan bisnis segelintir pengusaha yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan.

“Tanah ini seharusnya untuk kepentingan umum, bukan untuk memperkaya segelintir orang yang punya akses ke kekuasaan,”lanjutnya.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, Pasal 6 ayat (1) huruf a menyebutkan bahwa tanah yang tidak dimanfaatkan selama tiga tahun sejak diterbitkannya hak atas tanah dapat dikategorikan sebagai tanah terlantar.

Dalam kasus ini, lahan yang diberikan negara kepada Tergugat terbukti telah ditelantarkan, sehingga secara hukum hubungan antara Tergugat dan objek sengketa telah daluwarsa.

“Lahan ini sudah bertahun-tahun dibiarkan tanpa pemanfaatan. Ini bukan hanya kelalaian, tetapi juga perbuatan melanggar hukum,”sebutnya.

Pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa daluwarsa adalah alat hukum untuk memperoleh sesuatu atau terbebas dari suatu perikatan setelah melewati waktu tertentu, sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

Dalam kasus ini, tanah yang ditelantarkan selama bertahun-tahun seharusnya mengakhiri hubungan hukum antara Tergugat dan objek sengketa, sesuai dengan prinsip daluwarsa dalam hukum perdata.

“Daluwarsa bukan sekadar aturan, tetapi prinsip hukum yang memastikan bahwa hak atas tanah tidak bisa digantungkan selamanya tanpa kepastian,”imbuhnya.

Perjuangan Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat Jimbaran) mencapai titik krusial dalam gugatan sengketa tanah. Mereka menegaskan bahwa hak atas lahan sengketa seharusnya dikembalikan kepada pemilik hak lama, mengingat SHGB yang diperpanjang melalui SK KTT APEC 2010-2013 tidak digunakan sebagaimana mestinya dan karenanya tidak sah secara hukum.

Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UUPA 1960, PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, serta Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2018, negara memiliki kewajiban menjamin kepastian hukum atas kepemilikan tanah. Oleh karena itu, gugatan ini menegaskan bahwa Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum, serta Tergugat III dan IV turut terlibat.

Dalam tuntutannya, para penggugat meminta Pengadilan Negeri Denpasar untuk mengabulkan gugatan sepenuhnya, menyatakan SHGB yang diperpanjang tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, serta memerintahkan pengembalian hak kepada negara, desa adat, dan pemilik lama. Selain itu, mereka juga meminta agar putusan dapat dijalankan langsung (uitvoerbaar bij voorraad) meskipun ada upaya hukum dari tergugat.

“Ini bukan hanya tentang tanah, ini tentang keadilan bagi masyarakat yang haknya telah dirampas! Kami meminta putusan yang seadil-adilnya agar hak masyarakat dikembalikan,” pungkasnya.

Sidang perkara ini akan menjadi ujian bagi sistem hukum dalam menegakkan hak atas tanah adat dan kepastian hukum bagi warga. Masyarakat kini menunggu keputusan Pengadilan Negeri Denpasar, yang diharapkan dapat memberikan keadilan bagi pemilik hak lama dan mengakhiri ketidakpastian hukum yang telah berlangsung selama puluhan tahun.(jpbali).

Editor : Putu Gede Sudiatmika.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button